Jumat, Desember 19, 2014

Pelaku dan Korban



"Ketika pembunuhan bisa dilakukan di mana saja bukan berarti tidak ada tempat yang aman. "


Saya baru membaca sebuah artikel di media online mengenai seorang senior yang menganiaya juniornya hingga meninggal. Hanya karna junior tersebut menyengggol makanan ringan sang senior hingga terjatuh. Malangnya, junior tersebut dipukuli dan mulutnya disumpal dengan gagang sapu, hingga pada akhirnya junior tersebut meninggal. 


Malang nasib korban, lebih malang lagi nasib pelaku.

Jujur saya belum membaca berita mengenai kelanjutan nasib si pelaku, mungkin ada dua kemungkinan yaitu pelaku mungkin dipenjarakan atau pelaku dibebaskan. 
Tapi bukan hanya hukuman penjara yang didapatkan pelaku, tetapi juga hukuman secara sosial dan psikologis.
Secara sosial tentunya pelaku akan menanggung malu, mungkin akan dikucilkan secara sosial baik oleh teman sekolahnya, teman bermain, bahkan tetangga di lingkungan sekitar yang mengetahui kasus pembunuhan yang pernah pelaku lakukan. 
Secara psikologis pelaku mungkin akan terus mengingat perbuatannya atau bahkan pelaku akan menjadi pribadi 'batu' yang keras dan bila pelaku tidak dapat mengampuni diri sendiri hidupnya dikemudian hari tidak akan tenang.


Kesalahan ada pada siapa?
Kalau boleh saya berkomentar kesalahan bisa saja berasal bukan hanya dari pelaku namun juga semua orang disekeliling pelaku bahkan mohon maaf bisa juga korban, bukan hanya orang-orang dalam institusi pendidikan tempat dimana kekerasan tersebut terjadi tetapi juga orangtua yang berada di rumah saat tindak kekerasan tersebut terjadi. 

Dari sisi pelaku pribadi, mengapa senior tersebut bisa memiliki amarah atau emosi yang begitu besarnya hingga dapat menganiaya juniornya. Padahal junior tersebut telah meminta maaf dan mengganti makanan ringan yang telah dijatuhkannya. Mungkin selain emosi karena makanannya dijatuhkan, pelaku memiliki emosi-emosi terpendam lainnya. Emosi yang tidak disalurkan secara positif tersebut akhirnya mempengaruhi interaksi pelaku dengan korban yang notabene adalah juniornya.

Salah satu kontrol yang dapat dilakukan institusi pendidikan pendidikan adalah melalui program pelajaran mengenai budi pekerti atau yang bersangkutan dengan kepribadian atau karakter. Dengan adanya program pendidikan terebut juga tidak bisa mernjamin bahwa lingkungan sekolah akan aman 100%. Peranan orangtua juga sangat penting dalam mengawasi tindak-tanduk anaknya.

Mungkin sebaiknya pendidikan tidak hanya diberikan secara teoritis namun juga lebih mendalam yaitu secara praktik, contohnya orangtua dan guru tidak membiarkan pengggunaan kekerasan meski sekecil apapun dan tentunya orang dewasa juga tidak menirukan hal yang negatif seperti berteriak, memaki, mencubit, menyenggol, mendorong (dan hal-hal sejenis yang dianggap 'enteng').

Saya akui kekerasan di lingkungan masyarakat  juga tidak terlepas dari kehadiran media massa yang menyuguhkan beragam tayangan yang berbau kekerasan dan sekali lagi dibutuhkan peran orang dewasa untuk membatasi dan mengawasi tontonan - bacaan- hingga apa yang didengar oleh anak-anak dapat dikendalikan. Bukan bermaksud membela pihak mana pun namun kontrol terbesar adalah pada sisi pencegahan yaitu pengawasan orangtua/keluarga dan sekolah.

Semoga segala kasus kekerasan terutama yang melibatkan anak sebagai pelaku dan korban dapat membuat semua orang dewasa terutama keluarga, lingkungan rumah dan sekolah (yang merupakan lingkungan di mana anak belajar dan meniru segala aktivitas orang dewasa, yang menjadi frame of reference si anak) lebih waspada.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar