Senin, April 13, 2015

Terbang di antara hidup dan mati

Mungkin kebanyakan orang menyukai bepergian dengan pesawat, termasuk saya.
Menyenangkan karena saya bisa melihat kota tempat saya tinggal dari atas mengecil..kecil..kemudian hilang ketika saya berada di pesawat dengan ketinggian tertentu. 

Mungkin untuk kasus yang dialami oleh M.S.A. juga serupa dia menyukai bepergian dengan pesawat (plus gratis, plus bahaya) namun cara yang ditempuh terlalu unik karena dia memilih untuk menyelinap di ruang roda pesawat - tentunya secara sembunyi-sembunyi. Ide menakjubkan plus gila itu katanya didapatkan dari membaca dan beragam informasi di internet. Luar biasa hebat teori dan praktik yang dia lakukan hingga bisa selamat. M.S.A. dikabarkan berani menyelinap di ruang roda pesawat salah satu penerbangan komersil dari Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru hingga sampai di apron Bandara Soekarno-Hatta karena ingin melihat kota kelahirannya, Jakarta serta ingin bertemu presiden.

Benar-benar niat yang luar biasa hingga menghiraukan keselamatan jasmani sendiri. Mungkin dari sisi kesehatan psikologis dia dinyatakan sehat karena tidak megalami gangguan kejiwaan. Menurut saya hal tersebut benar adanya karena si pelaku telah merencanakan dan mempelajari cara menyelinap di ruang roda pesawat.

Perilaku yang terencana tersebut tidak dapat digolongkan dalam pembajakan emosi. Menurut buku yang saya baca Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman mekanisme pembajakan emosi terjadi hanya dalam dua belas milidetik-lebih cepat dari kedipan mata. Pembajakan emosi hanya terjadi secara seketika/otomatis tanpa didasari logika orang yang bersangkutan sebagai tanggapan atau respon terhadap suatu keadaan yang bersifat emosional-memang benar keinginan dia untuk bertemu dengan Presiden Jokowi namun seperti yang sebellumnya saya tulis hal tersebut terencana.

Pembajakan emosi ini bisa jadi karena manusia berevolusi untuk melakukan sesuatu karena adanya rangsangan dari luar dirinya sehingga manusia tersebut menanggapinya begitu cepat, namun sayangnya hanya emosi yang digunakan - logika terabaikan (entah secara sengaja atau tidak-tapi saya lebih setuju jika ini digolongkan dalam jenis penyakit- seperti serangan jantung ringan jika tidak diobati/terapi bisa berbahaya). Setelah kejadia pembajakan emosi manusia tersebut tidak menyadari apa yang dia perbuat. Kalau tidak salah ingat- tetap saja pembajakan emosi ini akan dianggap bersalah dalam penyelidikan dalam kasus hukum, kenapa pembajakan emosi bisa terjadi. 

OK tulisan ini mulai tidak fokus, kembali lagi ke kasus terbang di antara hidup dan mati. Kasus 'penumpang' di ruang roda bukan pertama kali terjadi di Indonesia, sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1981 dan 1997. Dari beberapa koran yang saya baca tanggung jawab mengenai keamanan bandara dan pesawat ini berada di tangan PT Angkasa Pura II serta perusahaan penerbangan terkait.

Apalagi yang bisa dilakukan jika sudah terjadi? Untung saja pelaku penyelinapan alis 'penumpang gelap' ini masih dilindungi Tuhan (saya masih bingung memang seberapa luas ruang roda pesawat sehingga si penyeinap masih hidup tanpa tergilas ketika roda masuk kembali saat pesawat sudah terbang? Atau memang roda memang tetap berada di luar ketika pesawat sudah terbang?). Semoga di masa depan tidak ada orang nekat atau terlalu berniat yang melakukan penyelinapan lagi , pengawasan seperti pagar di sekeliling landasan terbang dalam kondisi yang aman dan baik - mungkin perlu dialiri listrik? dibuat tembok tinggi? atau di pasang kamera pengawas di ruang roda pesawat? atau selalu ada petugas patroli yang memeriksa keadaan pesawat sebelum terbang meninggalkan landasan? dan sebagainya, semoga tugas pemerintah serta otoritas bandara berjalan baik serta adanya kesadaran masyarakat yang tinggi agar tidak ada lagi kejadian semacam ini. Amin!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar